Selembar daun kering
melayang tertiup angin
menuju bumi
satu-satunya tempat menepi
ia tak lagi punya arti
tak lagi punya harga diri
melayang tertiup angin
menuju bumi
satu-satunya tempat menepi
ia tak lagi punya arti
tak lagi punya harga diri
riuh badai berjam tadi
merenggut sisa ranting
tempat ia sandarkan hening
merenggut sisa ranting
tempat ia sandarkan hening
diratapinya kepergian kelopak bunga
sepi ia sendiri
nyeri datang tak kenal henti
sepi ia sendiri
nyeri datang tak kenal henti
tak ada embun
maka tangis ditampungnya sebagai rumpun
betapa nyeri kematian
ketika mulai terangankan
maka tangis ditampungnya sebagai rumpun
betapa nyeri kematian
ketika mulai terangankan
selembar daun kering
menepuki sisa kenangan
gurat luka ditubuhnya
kini telah mulai sempurna
menepuki sisa kenangan
gurat luka ditubuhnya
kini telah mulai sempurna
mulailah ia berkemas
menyambut sedihnya tuntas
ia hendak mengaku kalah
lelah memaksanya untuk menyerah
menyambut sedihnya tuntas
ia hendak mengaku kalah
lelah memaksanya untuk menyerah
Bias warnamu telah silaukan hari yang redup
BalasHapusTertutup awan berkelabu harapan
Yakiniku. Sesaat ragu
Cahayamu mencoba berikan ekpresi
Pada keteguhan teryakini
:Nyatanya kau tersingkir dengan segala kesempurnaan dan kearifanmu
Maaf, yang tidak bisa mengerti pada keindahanmu
Selalu saja, yang kita lawan adalah kehidupan bukan kematian. Jangan pernah percaya dengan keteraturan dan kedamaian abadi. Sebab hidup bukan kematian panjang. Motivasi terpenting, datang dari dalam diri. Sesuatu yang muncul sebagai advis dari luar, hanyalah unsur. Dan waktu bagai belati yang terhunus sepanjang zaman. Rebut belati itu atau membiarkan jantung ditusuk olehnya!
BalasHapus