Ciletuh Geopark

Ciletuh Geopark
Hari Pendidikan Nasional 2015

Sabtu, 26 Februari 2011

AKU MENCINTAIMU, TITIK!


Ku beri meski tak kau minta
Masih saja bertanya meski tahumu mengendap pada jiwamu
Rasanya lelah untuk memberi tahumu
Namun tetap kau beri lagi pertanyaan yang sama
Tak lelahkah kau bertanya?
:”Aku mencintaimu. TITIK”
Kataku pada kau yang sedang dilanda rindu, benci dan cemburukah juga?
Penasaranmu tak kunjung padam untuk menghantui sel-sel otakmu yang kotor
Lagi kau tanya, dan lagi kau bermain kata
Dan masih dengan jawab yang sama untuk kuberikan
:”Aku mencintaimu”. TITIK!”

Selasa, 22 Februari 2011

EMIKA #1 oleh Jantung Kananmu pada 23 Februari 2011 jam 0:13

KELEBAT senja yang tak sempat engkau nikmati itu, Emika, kini mengguratkan luka. Keluh lirih yang tiada hendak engkau lepaskan, kian mengiris dinding-dinding perih. Engkau yang berdiri di antara guguran airmata, meluruhkan selaksa kata yang terbata. Tapi telinga dan jantung ini, pecah oleh suara yang menghambur dari sunyi bibirmu. Menebah-nebah laksana kuda pacu yang gegas mendera. Gemuruh membentang, menerbangkan kenangan bayang masa silam. 

Seperti kisah yang tertulis pada labirin, mengantarkan kabar lewat jarum jam yang berdetak. Tentang cerita yang mengada. Tentang rupa yang menggoda. Tentang ujar yang mencela. Tentang kau. Tentang dia. Tentang nyinyir sabda para tua. Tentang hati yang menganga. Menapaki ruas demi ruas yang masih tersisa. Dan engkau tak jua hendak menyerah.

Menyapamu pada halaman ingatan hari ini, bagai menggores kenangan tak terperi. Aku tak sanggup melupakannya, katamu. Tak ingin pula aku membuka mata, karena aku tak mampu membaca nyata. Kebersamaan itu telah mengobarkan niatku untuk selalu berangkat pulang. Bahkan aku ingin menatanya seperti tak pernah ada luka. Jangan paksa aku untuk menghapusnya. Sebab engkau hanya pengembara. Sebab engkau tak terduga. Sebab engkau bukan siapa-siapa. 

Sebab engkau keras kepala, kataku. Sebab engkau tak merasa. Mungkin merasa tapi hanya untuk dilupa. Mungkin juga hanya untuk memperdaya. Siapa mau mengujar? Siapa hendak menampar?

Sesungguhnya, perahumu telah lama karam, Emika. Samudera ini takkan mengirimkan kabar sukacita. Penantian itu, hanya akan semakin menenggelamkan ingatan tentang pusaran waktu yang telah merampasmu dari dekapan semesta.

O, perempuan yang tawarkan pesona! Engkau jumawa di balik kata-kata. Tengoklah ke dalam dirimu, niscaya akan kau dapati baik-bait sempurna para pendusta. Tak usah engkau merona atau menyelinap samarkan rupa.

Dan engkau akan berlari menerabas segala resah. Mengeja imaji yang kian patah.

Engkau masih tersenyum. Engkau masih tertawa. Melihat berlumuran keranjang batinmu. Seandainya nanti kita tak bisa lagi memetik, masih akan adakah bunga, tatkala orang-orang ngungun melihat tangannya, matanya, hatinya, dan senyumannya kalau tiba nanti saat melepas lelah? Siapakah menyimpankan sekuntum bunga? Ingin kita mengirimnya buat anak-anak. Saat-saat kita tinggal duduk seorang diri menanti. Mungkin untuk tak ada yang mesti ditunggu.*)

Emika, masih ingatkah, daun-daun kering yang semalam jatuh dari tangkainya, kini berserak. Mungkinkah akan kembali ke ranting seperti sebelum kejadian? Mengayun diterpa angin sembari mengandai keabadian? Merentang harapan pada malam yang hampir padam? Sementara pertanyaanmu tentang tepian lain pun, tidak untuk dirasa. Engkau hendak mereka-reka. Engkau hanya menyuka. Engkau, sungguh tiada terjaga.

Percayalah! Sesampainya kapalmu di tepian lain, orang-orang akan memburumu seperti ombak memburu pantai. Sebab sebaris puisi yang kau bawa di balik biru matamu, melambai-lambai seperti nyiur yang rimbun menyimpan keteduhan. Dan seketika kau bertanya, "Tak adakah negeri, yang tanpa puisi?" Sungguh, dari jauh yang gelap, aku mengirim gumam, "Telah kusetubuhi seluruh negeri di tubuhmu, tapi sayang, aku tak bisa merangkainya lebih dari bahasa puisi."**)

Sebab, seperti katamu ketika itu, sampai hari ini engkau masih sanggup untuk melupa. Siapa bilang aku terluka, katamu. Meski aku tahu, dari sudut matamu, tiada dapat engau sembunyikan koyak. Sedalam apakah? Sedekat apakah? Sejantan apakah? Jika kebersamaan adalah menancap pagar-pagar rapuh di batas usia? Jika kesepakatan sebatas tulisan pada lembar lusuh semata?

Ke mana engkau hendak menyandarkan mimpi? Sementara badai sejak lama menggulung sepi. Bersama peri dari negeri dongeng, engkau melesat menjangkau igau.

Senja itu--dengan selendang bianglala serta matahari basah-kelabu. Berkemas dan bergegas ke arah runcing alismu, tapi riuh airmatamu menuliskan rindu yang kian ungu, melukiskan segores panorama cinta: perasaan syahdu, remang waktu, gurat tanya, gemuruh hati yang merana. Di antara sesak tangisanmu yang merebak pada kelopak bunga mawar di atas meja, seluruh penantian kita tak bertepi dan senantiasa bergetar. Betapa perih ufuk samudera dalam dadaku, menyusun labirin pendakian tangga-tangga yang bertahun kulewati penuh derita, penuh keabadian. Seperti cahaya puisi, melambai-lambaikan hatiku separuh purnama.***)


Rabu, 23 Februari 2011

*) Penggalan puisi Handrawan Nadesul: "Siapa Menyimpankan Sekuntum Bunga untuk Kita Nanti?"

**) Penggalan puisi Marhalim Zaini: "Langgam Negeri Puisi"

***) Bait pertama puisi "Melancholic in Blues" Ahmad Syubbanuddin Alwy

Rabu, 09 Februari 2011

SELEMBAR DAUN KERING


Selembar daun kering
melayang tertiup angin
menuju bumi
satu-satunya tempat menepi
ia tak lagi punya arti
tak lagi punya harga diri
riuh badai berjam tadi
merenggut sisa ranting
tempat ia sandarkan hening
diratapinya kepergian kelopak bunga
sepi ia sendiri
nyeri datang tak kenal henti
tak ada embun
maka tangis ditampungnya sebagai rumpun
betapa nyeri kematian
ketika mulai terangankan
selembar daun kering
menepuki sisa kenangan
gurat luka ditubuhnya
kini telah mulai sempurna
mulailah ia berkemas
menyambut sedihnya tuntas
ia hendak mengaku kalah
lelah memaksanya untuk menyerah

Selasa, 08 Februari 2011

Emika Lubbya

Orang yang berpikir BESAR akan membicarakan ide-ide dan gagasan,
Orang yang berpikir BIASA akan membicarakan tentang kejadian
dan
Orang yang berpikir RENDAH akan membicarakan tentang orang lain.

Regards and lots of love
www.Angelina Sondakh's diary

Kamis, 03 Februari 2011

JIKALAU LELAKI TERLUKA

Banyak kaum perempuan akan menangis saat tersakiti hatinya oleh kaum lelaki. Memang kaum perempuan bisa menangis selama berjam-jam, atau bahkan berhari-hari saat hatinya benar-benar terluka. Tapi dalam waktu singkat, kesedihan akan sirna tanpa disadari dan keceriaan kembali hadir.
Bagaimanakah dengan kaum lelaki? Saat hatinya terluka, mungkin tidak ada air mata yang menetes. Memang banyak lelaki yang seakan tidak memiliki kesedihan sedikitpun. Tetapi yang terlihat hanyalah kebencian dan kekecewaan karena tersakiti.
Benarkah kaum lelaki tidak sedih? Sebenarnya jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ada kesedihan yang terpendam. Meski waktu telah lama berlalu dan segala hal telah berubah, tapi kesedihan itu masih melekat dan muncul dalam ingatannya secara tiba-tiba.
Saat kaum lelaki sudah memiliki pasangan baru, tanpa diduga, dia akan terkenang pada moment dimana dia pernah berjalan dengan mantan PASANGANnya.
Ia akan mengingat bahwa perempuan itu pernah mengisi hari-harinya yang indah dan Ia begitu mencintainya. Saat itulah lelaki akan mengalami kesedihan yang begitu dalam. Tentu saja, hal ini tidak akan terjadi sekali, tapi berulangkali. Sehingga dapat dibayangkan betapa tersiksanya perasaan seorang lelaki.
Dalam sekejap perasaan lelaki menjadi down. Lelaki seakan menjadi begitu lemah dan rapuh. Tapi uniknya, ia berusaha menutupi dan tetap memperlihatkan sikap sewajarnya untuk memulihkan perasaannya sendiri. Sehingga, tak ada seorang pun yang merasakan, kecuali hatinya sendiri yang teriris.
Hati yang terluka akan selalu dipendam dalam diri seorang lelaki, hingga ia benar-benar bisa menghilangkan luka tersebut dari dirinya. Life's must go on, right guys?

by renungan kisah inspiratif

Selasa, 01 Februari 2011

DERITA CINTA

 

Mungkin tidak ada cerita
anak manusia yang keindahannya
menembus abad-abad sejarah
seperti cerita mengenai cinta.

...Jatuh cinta itu indah
tapi kenikmatannya tak bisa
menandingi kenikmatan dari derita cinta.

Hati tak pernah tersayat lebih dalam,
air mata tak pernah terperas lebih kering,
dan sukma tak pernah lebih dekat ke akhirat,
kecuali dalam kepiluan karena cinta.

Derita cinta, pilunya merasuk sukma.