KELEBAT senja yang tak sempat engkau nikmati itu, Emika, kini mengguratkan luka. Keluh lirih yang tiada hendak engkau lepaskan, kian mengiris dinding-dinding perih. Engkau yang berdiri di antara guguran airmata, meluruhkan selaksa kata yang terbata. Tapi telinga dan jantung ini, pecah oleh suara yang menghambur dari sunyi bibirmu. Menebah-nebah laksana kuda pacu yang gegas mendera. Gemuruh membentang, menerbangkan kenangan bayang masa silam.
Seperti kisah yang tertulis pada labirin, mengantarkan kabar lewat jarum jam yang berdetak. Tentang cerita yang mengada. Tentang rupa yang menggoda. Tentang ujar yang mencela. Tentang kau. Tentang dia. Tentang nyinyir sabda para tua. Tentang hati yang menganga. Menapaki ruas demi ruas yang masih tersisa. Dan engkau tak jua hendak menyerah.
Menyapamu pada halaman ingatan hari ini, bagai menggores kenangan tak terperi. Aku tak sanggup melupakannya, katamu. Tak ingin pula aku membuka mata, karena aku tak mampu membaca nyata. Kebersamaan itu telah mengobarkan niatku untuk selalu berangkat pulang. Bahkan aku ingin menatanya seperti tak pernah ada luka. Jangan paksa aku untuk menghapusnya. Sebab engkau hanya pengembara. Sebab engkau tak terduga. Sebab engkau bukan siapa-siapa.
Sebab engkau keras kepala, kataku. Sebab engkau tak merasa. Mungkin merasa tapi hanya untuk dilupa. Mungkin juga hanya untuk memperdaya. Siapa mau mengujar? Siapa hendak menampar?
Sesungguhnya, perahumu telah lama karam, Emika. Samudera ini takkan mengirimkan kabar sukacita. Penantian itu, hanya akan semakin menenggelamkan ingatan tentang pusaran waktu yang telah merampasmu dari dekapan semesta.
O, perempuan yang tawarkan pesona! Engkau jumawa di balik kata-kata. Tengoklah ke dalam dirimu, niscaya akan kau dapati baik-bait sempurna para pendusta. Tak usah engkau merona atau menyelinap samarkan rupa.
Dan engkau akan berlari menerabas segala resah. Mengeja imaji yang kian patah.
Engkau masih tersenyum. Engkau masih tertawa. Melihat berlumuran keranjang batinmu. Seandainya nanti kita tak bisa lagi memetik, masih akan adakah bunga, tatkala orang-orang ngungun melihat tangannya, matanya, hatinya, dan senyumannya kalau tiba nanti saat melepas lelah? Siapakah menyimpankan sekuntum bunga? Ingin kita mengirimnya buat anak-anak. Saat-saat kita tinggal duduk seorang diri menanti. Mungkin untuk tak ada yang mesti ditunggu.*)
Emika, masih ingatkah, daun-daun kering yang semalam jatuh dari tangkainya, kini berserak. Mungkinkah akan kembali ke ranting seperti sebelum kejadian? Mengayun diterpa angin sembari mengandai keabadian? Merentang harapan pada malam yang hampir padam? Sementara pertanyaanmu tentang tepian lain pun, tidak untuk dirasa. Engkau hendak mereka-reka. Engkau hanya menyuka. Engkau, sungguh tiada terjaga.
Percayalah! Sesampainya kapalmu di tepian lain, orang-orang akan memburumu seperti ombak memburu pantai. Sebab sebaris puisi yang kau bawa di balik biru matamu, melambai-lambai seperti nyiur yang rimbun menyimpan keteduhan. Dan seketika kau bertanya, "Tak adakah negeri, yang tanpa puisi?" Sungguh, dari jauh yang gelap, aku mengirim gumam, "Telah kusetubuhi seluruh negeri di tubuhmu, tapi sayang, aku tak bisa merangkainya lebih dari bahasa puisi."**)
Sebab, seperti katamu ketika itu, sampai hari ini engkau masih sanggup untuk melupa. Siapa bilang aku terluka, katamu. Meski aku tahu, dari sudut matamu, tiada dapat engau sembunyikan koyak. Sedalam apakah? Sedekat apakah? Sejantan apakah? Jika kebersamaan adalah menancap pagar-pagar rapuh di batas usia? Jika kesepakatan sebatas tulisan pada lembar lusuh semata?
Ke mana engkau hendak menyandarkan mimpi? Sementara badai sejak lama menggulung sepi. Bersama peri dari negeri dongeng, engkau melesat menjangkau igau.
Senja itu--dengan selendang bianglala serta matahari basah-kelabu. Berkemas dan bergegas ke arah runcing alismu, tapi riuh airmatamu menuliskan rindu yang kian ungu, melukiskan segores panorama cinta: perasaan syahdu, remang waktu, gurat tanya, gemuruh hati yang merana. Di antara sesak tangisanmu yang merebak pada kelopak bunga mawar di atas meja, seluruh penantian kita tak bertepi dan senantiasa bergetar. Betapa perih ufuk samudera dalam dadaku, menyusun labirin pendakian tangga-tangga yang bertahun kulewati penuh derita, penuh keabadian. Seperti cahaya puisi, melambai-lambaikan hatiku separuh purnama.***)
Rabu, 23 Februari 2011
*) Penggalan puisi Handrawan Nadesul: "Siapa Menyimpankan Sekuntum Bunga untuk Kita Nanti?"
**) Penggalan puisi Marhalim Zaini: "Langgam Negeri Puisi"
***) Bait pertama puisi "Melancholic in Blues" Ahmad Syubbanuddin Alwy
Mencarimu dalam kata
BalasHapusYang tersembunyi untukku
Mengapa terdiam dalam
Kesunyianmu sendiri?
Hmmmmm.......
BalasHapusDi sini tempat membaca hatimu.....
Apa yang harus kukatakan ketika di setiap baris pori-poriku hanya menyimpan namamu?
BalasHapusO, rindu ini semakin membuatku dungu!
think twice..
BalasHapusitu kataku
cinta bukan logika
pasti itu jawabmu...
Think twice untuk mendapatkan yang terbaik. Think twice agar tak membuahkan penyesalan. Think twice sehingga tak pernah bergerak ke tujuan yang pasti. Begitukah dirimu?
BalasHapusCinta bukan logika, begitulah galibnya. Cinta bukan logika, sebab profesor pun tak mampu membuat rumusnya. Cinta bukan logika, karena kekuatan cinta lebih dahsyat dari logika manapun. Itulah keyakinan dan jalan hidupku!
Think twice = peragu, pembimbang = pengecut
cinta bukan logika = optimis, percaya diri = revolusioner